Senin, 02 Juli 2012

UU MINERBA MK Bela Penambang Kecil dan Menengah




JAKARTA (Suara Karya): Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan aturan minimal lima ribu hektare untuk lokasi eksplorasi pertambangan yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). MK menilai aturan pembatasan itu bisa merugikan warga dan pengusaha kecil.
"Pasal 52 ayat (1) sepanjang frasa 'dengan luas paling sedikit lima ribu hektare' dalam UU Minerba Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian ditegaskan Ketua Majelis Hakim MK, Mahfud MD, saat membacakan putusan MK terkait uji materiil UU Minerba di gedung MK, Jakarta, Senin.
Majelis hakim MK menilai, dengan batasan minimal lima ribu hektare justru berpotensi untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi hak-hak rakyat dalam berusaha di bidang pertambangan kecil dan menengah.
Selain itu, ketidakjelasan mengenai aspek kecukupan lahan yang berpengaruh pada daya dukung dan daya tampung lingkungan yang tak diatur dalam UU No 4/2009 makin mengaburkan nilai penting dari luas minimal lima ribu hektare.
"Karena, bisa saja luas wilayah tiga ribu hektare sampai dengan empat ribu hektare sudah cukup untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan operasi produksi," tutur Mahfud.
Pasal 52 ayat (1) UU Minerba berbunyi: "Pemegang IUP (izin usaha pertambangan) eksplorasi mineral logam diberi WIUP (wilayah izin usaha pertambangan) dengan luas paling sedikit 5.000 hektare dan paling banyak 100 ribu hektare.
Dalam pertimbangan MK, batas minimal lima ribu hektare itu berpotensi mereduksi atau bahkan menghilangkan hak-hak para pengusaha di bidang pertambangan yang akan melakukan eksplorasi dan operasi produksi di dalam WUP (wilayah usaha pertambangan).
MK menganggap belum tentu dalam suatu WP (wilayah pertambangan) akan tersedia luas wilayah eksplorasi minimal lima ribu hektare jika sebelumnya telah ditetapkan WPR (wilayah pertambangan rakyat) dan WPN (wilayah pencadangan negara).
Kalaupun kriteria lima ribu hektare itu merupakan bagian dari kebijakan hukum yang terbuka, namun ketidakjelasan mengenai aspek kecukupan lahan berpengaruh pada daya dukung dan daya tampung lingkungan. Ini tidak diatur dalam UU 4/2009, sehingga mengaburkan nilai penting dari luas minimal lima ribu hektare itu. "Lagi pula, bisa saja luas wilayah tiga ribu hektare sampai dengan empat ribu hektare sudah cukup untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan operasi produksi," kata hakim konstitusi Akil Muchtar.
UU Minerba "digugat" tiga pemohon yang berbeda, yakni Fatriansyah Aria dan Fahrizan, Asosiasi Pengusaha Timah Indonesia (APTI) dan Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (Astrada) Provinsi Bangka Belitung, serta Walhi, KPA, Kiara, PBHI, Solidaritas Perempuan, Nurwenda dkk.
Fatriansyah dan Fahrizan meminta MK membatalkan pasal yang dinilai berpotensi memperkecil atau menghilangkan kesempatan masyarakat untuk berusaha. (Wilmar P)

1 komentar: